Kalau kemarin saya berbagi tentang nikah muda Alvin dan apa yang
harusnya disiapkan, maka selanjutnya ada pertanyaan, apa yang akan
saya katakan jika anak saya berusia 17 tahun, tiba-tiba mengutarakan
keinginannya untuk menikah? Ini sebenarnya terinspirasi dari survey Fanpage Rocking Mama di Facebook sih, saya jadi
tergerak juga untuk ikut menulis. Secara, sekarang saya memang sudah punya
anak. Cowok pula!
https://www.facebook.com/RockingMama.Id/photos/a.813081222134768.1073741828.812685662174324/944992628943626/?type=3&theater
|
Oke, lets see! Kita sebut saja namanya Emir. Emang anak saya namanya Emir
ckck.
Sedang ngopi-ngopi cantik di taman belakang rumah.
Tiba-tiba Emir (tentu saja yang sudah berusia 17 tahun) menghampiri saya.
"Bun, bun, boleh nggak aku menikah?"
Bundanya langsung keselek, kemudian kopi tumpah.
Sip. Ini hanya ilustrasi!
Sebenarnya tidak beda jauh dari postingan kemarin, hal-hal ini jualah yang
akan saya katakan pada anak saya.
1. Tanya, apa alasannya
mau menikah?
Menghindari zina. Oke, alasan yang cukup umum dan baik. Selanjutnya,
seberapa besar rasa sukanya dengan wanita itu? Sampai benar-benar dia harus
menikah untuk menghindari zina. Memang dia sudah timbul syahwat? Jika dia sudah
menjelaskan panjang lebar bahwa dia memang menyukai wanita itu dan berdalih
daripada pacaran yang dekat dengan zina, lebih baik menikah. Maka akan saya
lanjutkan pertanyaan di poin kedua.
2. Lihat kepribadian si
anak di rumah
Hal kedua yang akan saya lakukan adalah melihat kepribadian Emir di rumah.
Apakah ia sudah menjadi anak yang mandiri? Apakah ia sudah menjadi anak yang
bertanggung jawab? Apakah sudah mampu memimpin? Dan apakah secara emosinya dia
sudah matang? Jika semua jawabannya ya, maka saya lanjut ke poin ketiga.
3. Bagaimana urusan
pemahaman agamanya
Saya sudah bilang di postingan kemarin, bahwa menikah itu butuh pemahaman
agama. Sebab agamalah yang akan menolong kita. Apalagi Emir ini anak laki-laki.
Tugasnya akan menjadi seorang imam. Katakanlah ia sudah bisa mengimami sholat.
Tapi apakah dia sudah bisa membimbing orang lain atau istrinya nanti untuk
menjadi makmumnya? Yang dalam artian, sudah bisa membimbing istrinya untuk
mengaji, mengajarkan banyak hal tentang agama, khususnya untuk urusan fiqih
dalam rumah tangga. Lalu, mengertikah ia cara memperlakukan istri dengan baik
sesuai tuntunan agama?
Agama ini kalau mau dibahas memang akan panjang jadinya. Karena saya
sendiri sudah mengalami. Banyak hal dalam rumah tangga yang butuh tuntunan
agama. Yang akhirnya membuat saya percaya, jika memahami agama, maka jalan akan
lebih terasa mudah. Karena sesungguhnya, aturan yang sudah ditetapkan Allah
dalam agama Islam ini sudah mencakup banyak hal yang bisa dijadikan pedoman
hidup termasuk kehidupan rumah tangga. Oke, lanjut poin keempat.
4. Apakah ia sudah siap
menafkahi istrinya nanti?
Katakanlah Emir memang sudah lulus sekolah. Lalu bagaimana karirnya? Apakah
ia sudah punya pekerjaan, atau minimal jaminan bahwa ia bisa menghidupi
istrinya nanti? Uang memang bukan segalanya, tapi fakta bahwa menjalani rumah
tangga akan selalu butuh materi, itu hal yang tidak bisa dibantah. Itu sebabnya
masih saja banyak pasangan suami istri bermasalah karena keadaan ekonominya.
Jika karir atau pekerjaan Emir memang sudah matang, maka lanjut ke poin
terakhir.
5. Siapkah ia dengan
segala konsekuensi dalam rumah tangga?
Nak, berumah tangga itu bukan sekedar untuk menghalalkan syahwat. Bukan
sekedar sah, lalu bisa tidur bareng dan kamu juga istrimu akan menjadi pasangan
bahagia. Tidak, Nak. Tapi dalam rumah tangga akan selalu ada masalah yang
muncul dari hal yang paling sepele sekalipun sampai hal yang paling besar
terkait urusan rumah tangga. Apakah kamu sudah siap dengan semua konsekuensi
itu? Apakah kamu bisa menyelesaikannya nanti secara bijaksana? Bunda tidak mau,
sedikit ada masalah, kau langsung marah-marah pada istrimu. Kau langsung
mengeluh. Karena itu artinya, sesungguhnya kau memang belum siap untuk berumah
tangga.
Yap, poin terakhir akan jadi pertanyaan yang paling penting dari semua
pertanyaan. Sebab dalam pernikahan memang selalu akan muncul masalah. Sebab ada
dua orang berbeda kepala, berbeda kebiasaan sebelumnya, maka menyatukannya juga
butuh perjuangan.
Jadi kesimpulan jika semua jawaban di atas belum cukup memuaskan, maka saya
akan memberinya opsi lain. Bagaimana jika dia menemui dan mendalami bakatnya.
Mencari kampus atau pun pekerjaan yang dia inginkan. Sembari menata diri dulu.
Untuk mematangkan emosi, rasa tanggung jawab, dan pemahaman yang baik.
Hitung-hitung untuk memantaskan diri, agar dia bisa mendapat wanita yang juga
baik. Setelah semuanya sudah jauh lebih matang, maka ia akan lebih siap untuk
menikah.
Well, sejujurnya saya agak geli menuliskan ini hehe. Lantaran saya lagi
menikmati masa-masa Emir jadi bayi. Tapi fakta bahwa dia akan terus tumbuh
besar, juga tidak bisa terelakkan. Suatu saat dia akan tumbuh dewasa dan
menikah.
Dan tulisan ini, hanyalah menjadi bahan yang cukup menarik untuk dibahas.
Terlepas dari apakah nantinya hal-hal di atas benar saya aplikasikan jika
kenyataan, saya belum tahu. Saya baru membayangkan saja jika seandainya
kejadian seperti itu, lima hal di ataslah yang akan saya lakukan.
Terakhir, muncul satu komentar menarik yang ada di postingan saya kemarin
dari Mbak Kanianingsih
Ya, pada akhirnya kembali lagi pada peran keluarga dalam pembentukan
karakter seorang anak. Terlebih orang tuanya. Sebab anak pada dasarnya memang
terlahir suci.
Semoga kita semua bisa menjadi orangtua yang selalu bijaksana dan
menjadikan anak yang berakhlak baik.